Di Manakah Tujuh Langit Itu?
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba‑Nya
(Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda‑tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS.
Al-Isra’ : 1).
Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul
Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat
Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung.
Penglihatannya
tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda‑tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar. (QS. An‑Najm:13‑18).
Ayat-ayat itu
mengisahkan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Isra’ adalah
perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di
Palestina. Mi’raj adalah perjalanan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha.
Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’,
suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa
mengetahui lebih jauh lagi.
Hanya Allah yang tahu hal‑hal yang lebih jauh dari
batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang
menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Di dalam kisah yang
agak lebih rinci di dalam hadits disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh
Nabi setelah mencapai langit ke tujuh.
Dari kisah itu orang mungkin
bertanya-tanya di manakah langit ke tujuh itu. Mungkin sekali ada yang mengira
langit di atas itu berlapis-lapis sampai tujuh dan Sidratul Muntaha ada di
lapisan teratas. Benarkah itu?
Tulisan ini mencoba membahasnya berdasarkan
perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
Sekilas Kisah Isra’ Mi’raj
Di dalam beberapa
hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ dan mi’raj
dengan menggunakan “buraq”.
Di dalam hadits hanya disebutkan bahwa buraq adalah
‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Ini
menunjukkan bahwa “kendaraan” yang membawa Nabi SAW dan Malaikat Jibril
mempunyai kecepatan tinggi.
Apakah buraq
sesungguhnya?
Tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Cerita israiliyat yang
menyatakan bahwa buraq itu seperti kuda bersayap berwajah wanita sama sekali
tidak ada dasarnya. Sayangnya, gambaran ini sampai sekarang masih diikuti oleh
sebagian masyarakat, terutama di desa-desa.
Dengan buraq itu Nabi
melakukan Isra’ dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis)
di Palestina.
Setelah melakukan shalat dua rakaat dan meminum susu yang
ditawarkan Malaikat Jibril Nabi melanjutkan perjalanan mi’raj ke Sidratul
Muntaha.
Nabi SAW dalam
perjalanan mi’raj mula-mula memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi
Adam yang di kanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli
neraka.
Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke
dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya.
Di langit ke tiga ada
Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu
dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi
Ibrahim di langit ke tujuh.
Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat
70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya
dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan
dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam‑kalam
(‘pena’).
Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non‑fisik
(bathin) di surga, dua sungai fisik (zhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan
sungai Nil di Mesir.
Jibril juga mengajak
Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an
surat An‑Najm.
Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang
sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat
wajib.
Mulanya diwajibkan
shalat lima puluh kali sehari‑semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta
keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh‑sepuluh setiap meminta.
Akhirnya
diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Saya
telah meminta keringanan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka
Allah berfirman, “Itulah fardlu‑Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba‑Ku.”
Di manakah Tujuh Langit
Konsep tujuh lapis
langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit
berlapis-lapis dan berjumlah tujuh.
Kisah Isra’ mi’raj dan sebutan “sab’ah
samawat” (tujuh langit) di dalam Al-Qur’an sering dijadikan alasan untuk
mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.
Ada tiga hal yang
perlu dikaji dalam masalah ini. Dari segi sejarah, segi makna “tujuh langit”,
dan hakikat langit dalam kisah Isra’ mi’raj.
Sejarah Tujuh Langit
Dari segi sejarah,
orang-orang dahulu –jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan — memang berpendapat
adanya tujuh lapis langit.
Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada
tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda. Kesimpulan ini berdasarkan
pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit.
Benda-benda langit yang
lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada gambaran
seolah-olah benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang
berbeda-beda.
Di langit pertama ada
bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang
paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus
(bintang kejora) berada di langit ke tiga.
Sedangkan matahari ada di langit ke
empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada
Jupiter (bintang Musytari).
Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang
Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam
semesta.
Orang-orang dahulu
juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di
bumi.
Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang
terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan.
Karena itu hari pertama itu
disebut Saturday (hari Saturnus) dalam
bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang.
Dalam
bahasa Indonesia Saturday adalah Sabtu. Ternyata, kalau kita menghitung hari
mundur sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari
Sabtu.
Hari-hari yang lain
dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu
menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa),
Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum’at). Itulah
asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.
Jumlah tujuh hari itu
diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut
berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, …, sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan,
tsalatsah, arba’ah, khamsah, sittah, dan sab’ah.
Bahasa Indonesia mengikuti
penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at,
dan Sabtu.
Hari ke enam disebut secara khusus, Jum’at, karena itulah penamaan
yang diberikan Allah di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan adanya kewajiban
shalat Jum’at berjamaah.
Penamaan Minggu
berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang
berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan
Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai
hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian “Ahad” daripada “Minggu”.
Makna Tujuh Langit
Langit (samaa’ atau
samawat) di dalam Al-Qur’an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti
pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas
yang bertebaran.
Dan lapisan‑lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda‑benda
langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit
sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari
oleh atmosfer bumi.
Di dalam Al-Qur’an
ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak
terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al‑Baqarah:261 Allah menjanjikan:
Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing‑masingnya
berbuah seratus butir.
Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang‑orang yang
dikehendakinya….
Juga di dalam Q.S.
Luqman:27:
Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai
pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak
akan habis Kalimat Allah….
Jadi ‘tujuh
langit’ semestinya dipahami pula sebagai tatanan benda‑benda langit yang tak
terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan‑lapisan langit.
Tujuh langit pada Mi’raj
Kisah Isra’ Mi’raj
sejak lama telah menimbulkan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi
melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja.
Demikian juga dengan
hakikat langit. Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli
tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra.
Tetapi sebagian
lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh
langit dalam kisah Isra’ mi’raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi’raj
itu peristiwa lahiriah bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan
dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta
melihat Baitul Makmur, tempat ibadah para malaikat.
Jadi, nampaknya pengertian
langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit lahiriah yang berisi
bintang-bintang, tetapi langit ghaib.
