Asal-usul Syekh Siti Jenar
Selama
ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul
ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia
sejarah.
Pengaburan
tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yang dilakukan oleh penguasa
muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17.
Penguasa
merasa perlu untuk “mengubur” segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yang
diakui Kerajaan Islam waktu itu.
Hal ini kemudian menjadi latar belakang
munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam
sebuah naskah klasik, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara
tegas,
“Wondene
kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun
inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”
[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing,
itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata),
bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi
Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari
kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yang
saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping
sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh
Siti Jenar yang memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah
putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain
bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam.
Maulana
‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama
terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang
berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dengan kota
Tarim di Hadramaut.
Syekh
‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan
ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yang semua
keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.
Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang bersama keluarganya pindah
dari Tarim ke India.
Jika
diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin
Abi Thalib, menantu Rasulullah.
Dari silsilah yang ada, diketahui
pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di
Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh
Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan
menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh.
Ayah
Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang
kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yang
sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi
kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah.
Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan
sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada
akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan
saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan.
Di
Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran
Islam yang sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dengan
ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua
bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak
itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau
Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh
datuk Kahfi.
Jadi
walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan
Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yang saat itu
menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas
perdagangan dunia waktu itu.
Saat
itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang
ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat
pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf.
Sampai usia
20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati,
disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual.
Tentang
Silsilah Syeikh Siti Jenar dan para walisongo lainnya sudah diakui
oleh para ulama nasab dari Yaman, Malaysia dan Thailand.. para sayyid dan
kalangan habaib yang memahami ilmu nasab banyak yang mencantumkannya di bawah
nama fam.
